Minggu, 22 April 2012

Story of Mine: Rantai Putus



Hari ini tanggal 22 April 2012, aku dan temanku, Echa berencana pergi ke Matos (Malang Town Square). Kami ke Matos buat nyari butik/toko yang lagi nyari tenaga tambahan atau istilah kerennya karyawati. Buat sekedar ngisi liburan lah. Maklum liburan berbulan-bulan sayang kalo nggak dimanfaatin. Berbekal ijazah SMP karena ijazah SMA belum jadi. Yaiyalah belum jadi. Orang UANnya juga baru 3 hari yang lalu— kami berputar-putar mancari tempat yang membutuhkan karyawati. Hari itu Echa lagi kena penyakit nggak elit, panas. Jadi wajahnya yang udah sengak, jadi tambah sengak karena cemberut terus.



Ilustrasi wajahnya Echa
 













bandingin sama wajah gue


  





Udah, nggak usah naksir gitu.
 




Ternyata kalo dicari-cari dan diperhatiin, banyak banget butik di Matos yang lagi nyari tenaga tambahan. Jadilah aku dan Echa mendatangi setiap butik yang ada tulisannya “Dibutuhkan karyawati minimal lulusan SMA, berpenampilan menarik dan bla bla bla”. Tapi nggak semua butik mau menerima kami gitu aja. Ada juga yang nolak karena nggak ada ijazah SMA. Ada juga yang ngajak ngobrol ngalor ngidul, sampe nanya-nanya latar belakang keluarga(?) dan sekolah.

Mbak Butik: “SMA dimana dek emangnya?”
Echa: “SMA 5 Mbak.”
Mbak Butik: “dimana itu ya?”
Echa: “Jl. Tanimbar mbak, depannya LANAL.”
Mbak Butik: “dimana itu?”
Echa: “sampingnya SMK Grafika mbak.”
Mbak Butik: “dimana sih?”
Echa: “deketnya R.S.I. Aisyiyah Mbak, yang di Sawahan.”

Mbak-mbak butik itu masih menampakkan wajah nggak ngerti.

Aku: “daerah Comboran Mbak.”




Singkat. Padat. Jelas.





Dan Mbak itu pun langsung mengangguk-angguk mengerti.





Tragis.



Karena Comboran adalah pasar barang-barang bekas.



Setelah tanya panjang lebar, kami menangkap bahwa kami nggak bisa ngelamar di butik itu karena nggak ada ijazah SMA. Yaah tapi untungnya ada beberapa butik yang boleh-boleh aja. Syaratnya juga standart aja. Cuma pass photo, curriculum vitae, sama surat lamaran pekerjaan. Dan… karena aku belum punya KTP maklum belum genap 17 tahun— jadi nggak bisa daftar. Tragis. Sungguh tragis.

Capek keliling-keliling, kami mampir ke food court. Satu-satunya tempat kosong adalah tempat duduk di depan Hot Cui Mie. Jadilah kami duduk disana. Nah, karena mau keliling-keliling nyari makanan, dan aku nggak mau keliling sendirian, aku berinisiatif ninggalin tas di tempat duduk. Awalnya sih Echa nglarang. Takut ilang, katanya. Tapi aku udah ‘ngosongin’ tasku dan cuma ninggalin sisir sama tempat kacamata doang. Saat mau keliling, aku ditanyain om-om disebelah.

Om: “Lho nak, tasnya mau ditinggal?”
Aku: “eh.. iya om. Hehe..”
Om: “nggak takut ilang?”
Aku: “ya takut sih om.”
Om: “tasnya mau ditinggal nak?”
Aku: “err.. iya om. Titip bentar kalo gitu ya om?”
Om: “beneran mau ditinggal nak tasnya?”




Hening.





Karena menyadari pembicaraan ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat, aku berinisiatif meninggalkan om-om itu sambil melayangkan senyum om-gue-titipin-tas-gue-sama-elo-yah. Akhirnya setelah muter-muter food court beberapa kali, kami memesan Hot Cui Mie yang tempatnya cuma berjarak 2 meter dari tempatku ninggalin tas. Kenapa nggak dari tadi coba. Sambil berterima kasih ke om tadi karena udah mau dititipin tas— aku pun duduk dan tak lama kemudian pesanan kami datang. Sambil makan, aku melihat iklan bengkel 24 jam yang bisa delivery service di TV flat food court. Dalam hati aku berpikir, catet nggak ya? Nggak usah ah, buat apa coba?


Singkat cerita, aku sama Echa pulang. Waktu itu sekitar jam tujuh malam. Pas di jalan, tiba-tiba motorku ada yang aneh. Bisa di gas, tapi nggak ada suara rantai. Jadilah kami turun untuk ngecek apa yang salah dengan motorku. Dan saat melihat ke bawah, kami pun terkaget-kaget. Nggak nyangka sama sekali bakal kayak gini. Kenapa?? Kenapa??!! Kenapa rantainya harus copot???!!!! 

Kalo ini cuma rantai sepeda pancal sih aku bisa benerin (serius nih), tapi berhubung ini sepeda motor jadi kami terpaksa nuntun sambil nyari tempat benerin motor. Pas itu aku di jalan deketnya kuburan nggak tau kuburan apa namanya, pokoknya yang deket Matos itu loh— karena saat itu masih rame, kami sih nyante aja. Bahkan disepanjang perjalanan, kami tertawa-tawa karena menyadari kami menertawakan situasi yang tidak patut untuk ditertawakan, karena itu kami tertawa. Yah.. begitulah intinya. “kenang-kenangan”, kata Echa.

Dari arah Matos, kami belok kiri ke arah jalan depan gerbang kuburan. Karena nggak nemu bengkel, akhirnya kita tanya ke orang. Setelah dikasih tau, kami pun menuntun sepeda ke arah kiri, arah yang ditunjuk orang tadi. Ini belokan ke Soekarno-Hatta ya, pikirku. Namun nggak ada tanda-tanda bengkel buka. Yang ada hanya penjual lalapan di pinggir jalan. Melihat kami kebingungan, dia tanya-tanya dan ngasih tau kalo nggak ada bengkel buka disekitar sana jam segini. “Mungkin disana ada” katanya sambil menunjuk ke suatu arah, berkebalikan dari arah yang kami tuju. Kami pun putar balik setelah mengucapkan terima kasih. Dan, karena jalan yang kami lewati menurun, kami pun mengendarai sepeda motor. Aneh emang rasanya, menaiki sepeda motor yang nggak ada suaranya. Kami pun tertawa. “kenang-kenangan”, kata Echa lagi.


Aku: “Cha..”
Echa: “apa?”
Aku: “tadi waktu di Matos aku liat ada iklan bengkel 24 jam gitu. Tapi nggak aku catet nomornya.”
Echa: “hmm.. firasat kali.”
Aku: “iya kali ya.”

Hening.

Echa: “untung ya.”
Aku: “apanya?”
Echa: “ tadi kita nggak pulang malem banget.”
Aku: “firasat kali.”
Echa: “iya kali ya.”


Di tengah perjalanan menaiki motor yang nggak ada suaranya itu, kami melihat secercah harapan. Di kejauhan, kami melihat sebuah tempat tambal ban yang tampak lebih terang dari apapun disekitarnya. Seperti oase di tengah gurun pasir, seperti api di tengah badai gletser walaupun itu mungkin mustahil— ya pokoknya gitu lah, kami sangat senang. Tambal ban ini letaknya di sebelah indomaret. Indomaret yang dideketnya pos polisi SOB itu loh. Deket tugu UKS. Tahu kan? Aku pun bertanya pada penambal ban itu, kali aja bisa benerin rantai motor.


Aku: “pak, bisa benerin rantai? Ini rantainya copot pak.” wajahku memelas.

Pak bengkel itu mengamati rantai copot itu sesaat.

Pak Bengkel: “wah, kalo ini nggak bisa dek, soalnya ini-nya ganda, jadi nggak bisa kalo blablablabla...” (ngomong sesuatu yang aku nggak ngerti)
Aku: “yaaaah terus gimana dong pak?” hilang deeeh harapan gue
Pak Bengkel: “ini bisa kalo rantainya diputus dulu dek, trus disambung, biar bisa dipasangin ke gearnya.”
Aku: “yaudah pak, pasang aja.” itu namanya bisa dong, dasar gokil. -_-

Sambil menunggu, aku bicara sama Echa.

Aku: “kayaknya bakalan mahal deh.”
Echa: “uangku masih sisa 50 ribuan kok.”
Aku: “yaah.. kalo uang sih aku bawa 200 ribu, tapi buat bayar les sih.”

Hening sesaat.

Aku: “aku sms kakak aja deh, jaga-jaga suruh ngirim duit”
Echa: “untung ya tadi nggak jadi beli apa-apa”
Aku: “iya. Firasat mungkin”
Echa: “iya mungkin. kenang-kenangan nih”

Hening lagi. Sepertinya kita sangat terobsesi dengan ‘firasat’ dan ‘kenang-kenangan’.

Pak Bengkel: “udah selesei dek.”
Aku: “ooh.. iya pak. Ngg... berapa?”
Pak Bengkel: “5 ribu dek.”
Aku: “hah? 5 ribu pak? Serius?”
Pak Bengkel: “iya. Kenapa dek? Kemahalan? Biasanya juga segitu kok dek.”
Aku: “eeeh, enggak kok pak. Murah kok, murah..” yaiyalah murah. Kirain bakal sampe berapa ribu gitu. Bapak ini gokil sekali.


Abis bayar dan ngucapin terima kasih, aku mengantar Echa pulang. Setelah Echa bilang “makasih ya yus udah nganter. Yang tadi itu pengalaman”, aku pun pulang dengan damai...

1 komentar:

  1. SOLO GAYA Pusat Belanja Paling Bergaya www.sologaya.blogspot.com

    BalasHapus